
Wartagereja-jabar.com – Jakarta – Kemudahan akses informasi di era teknologi digital memang tak terbantahkan. Namun, derasnya arus informasi ini menuntut setiap pengguna internet, atau yang biasa disebut netizen, untuk memiliki kecakapan digital yang mumpuni. Keterampilan ini menjadi benteng penting agar kita tidak mudah terperangkap oleh informasi yang menyesatkan, terutama yang bersumber dari mesin pencari.
Mesin pencari, seperti Google, Yahoo, Bing, Yandex, dan DuckDuckGo, adalah alat bantu yang sangat populer untuk menemukan berbagai situs web di internet. Google, berdasarkan data We Are Social tahun 2022, bahkan menjadi mesin pencari favorit di Indonesia dengan pangsa pasar mencapai 97,43%. Dominasi ini menunjukkan betapa pentingnya peran Google dalam kehidupan digital masyarakat Indonesia.
Namun, kepopuleran dan kemudahan Google juga menyimpan potensi risiko. Diana Aletheia Balienda, seorang pengusaha, pelatih digital, dan ahli grafologi, mengingatkan dalam sebuah webinar “Makin Cakap Digital 2022” bahwa kita tidak boleh sepenuhnya mempercayai hasil pencarian di internet. “Ingat, jangan percaya 100% pada semua yang ada di internet. Waspadalah terhadap hasil Google, hati-hati dengan ‘jebakan batman’ digital,” ujarnya kepada peserta webinar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Rabu, 31 Agustus 2022.
Survei Literasi Digital Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih tergolong “Sedang”, dengan skor indeks 3,49 dari skala 1 hingga 5. Temuan ini mengindikasikan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kecakapan digital masyarakat.
Rendahnya tingkat literasi digital ini berdampak langsung pada kemampuan individu dalam mengolah informasi di dunia maya. Diana mengungkapkan bahwaIronisnya, masih ada sebagian masyarakat Indonesia, sekitar 5,5%, yang menganggap bahwa semua informasi yang ditemukan di internet adalah kebenaran mutlak.
Padahal, kenyataannya, tidak semua informasi di internet dapat dipercaya. Diana menjelaskan bahwa di dunia digital, kita seringkali berhadapan dengan berbagai jenis informasi yang tidak benar, seperti misinformasi (informasi yang salah), disinformasi (informasi yang sengaja disesatkan), dan malinformasi (informasi yang benar namun digunakan untuk tujuan jahat). Beberapa informasi memang keliru sejak awal, sementara yang lain sengaja dirancang untuk merugikan pihak tertentu.
Menyadari tantangan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI, bekerja sama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, menggagas program “Indonesia Makin Cakap Digital”. Program ini berlandaskan pada empat pilar utama literasi digital: Kecakapan Digital, Etika Digital, Budaya Digital, dan Keamanan Digital. Target ambisius dari program ini adalah menjangkau 50 juta masyarakat Indonesia dengan pelatihan literasi digital pada tahun 2024.
Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) turut mengambil peran aktif dalam merespons perkembangan peradaban digital ini. PWGI secara konsisten meningkatkan literasi digital masyarakat melalui berbagai program, termasuk pelatihan jurnalistik bagi wartawan gereja.

Laporan “Digital 2023” dari We Are Social dan Meltwater mencatat bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat pesat. Pada Januari 2023, jumlahnya mencapai 212,9 juta, naik 10 juta atau 5% dibandingkan tahun 2022 yang berjumlah 202 juta. Pertumbuhan eksponensial ini semakin menegaskan urgensi literasi digital, terutama dalam aspek etika berinternet. Selain manfaat positif, peningkatan pengguna internet juga memicu dampak negatif seperti cyberbullying, ujaran kebencian, hoax, dan cybercrime.
Kebebasan berpendapat di media sosial, jika tidak diiringi dengan etika dan tanggung jawab, dapat menjadiProblem utama. Kondisi ini berpotensi memicu cyberbullying dan bentuk kejahatan siber lainnya. Oleh karena itu, penting untuk selalu berpikir kritis, melakukan cek dan ricek sebelum menyebarkan atau mengomentari sesuatu di media sosial. Selain itu, bijak dalam menggunakan media sosial, membatasi postingan dan komentar yang tidak perlu, serta tidak mudah terpancing emosi (cek dan recheck) adalah langkah-langkah penting untuk berinternet secara sehat dan bertanggung jawab.
Untuk mencegah cyberbullying, paparan hoax dan ujaran kebencian, setiap pengguna internet wajib memiliki kompetensi literasi digital, khususnya terkait netiquette (etika berinternet) dan memahami ruang lingkupnya. Etika berinternet mencakup kemampuan untuk mengakses, menyeleksi, dan menganalisis informasi, serta berkomunikasi secara efektif di platform digital. Ruang lingkup etika digital meliputi kesadaran, integritas, tanggung jawab, dan kebajikan. Pastikan setiap tindakan di dunia digital didasari oleh nilai-nilai kemanfaatan, kemanusiaan, dan kebaikan. Kurangnya kemampuan literasi digital, termasuk dalam hal membaca, memeriksa, menguraikan, membiasakan diri, dan membangun wawasan kebangsaan, dapat memicu terjadinya cyberbullying.
“Selain itu, pencegahan cyberbullying juga dapat dilakukan dengan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pedoman karakter dalam beraktivitas di ruang digital,” ungkap para ahli.
Budaya digital (digital culture) membentuk cara kita berinteraksi, berperilaku, berpikir, dan berkomunikasi dalam masyarakat yang semakin terdigitalisasi. Untuk melindungi anak-anak dari cyberbullying, pendekatan pengasuhan positif, pemberian contoh yang baik, membangun komunikasi yang efektif, meningkatkan kepekaan orang tua, dan menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang sangatlah penting.
Sejak dua tahun lalu, PWGI telah aktif menjalankan program #literasidigital untuk meningkatkan literasi digital masyarakat Indonesia pada tahun 2024, serta menyelenggarakan berbagai pelatihan jurnalistik bagi wartawan gereja. Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan teknologi digital secara positif, produktif, dan aman, sehingga terhindar dari berbagai dampak negatif yang mungkin timbul. (Dharma Leksana/Red.***)