
Gambar screenshoot dari sukabumisatu.com
Wartagereja-jabar.com –Jakarta, [29 Juni 2025] – Sebuah insiden penggerudukan dan perusakan sebuah rumah yang dikira gereja di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi pada Jumat (27/6/2025) menjadi sorotan publik dan viral di media sosial. Peristiwa ini memicu perdebatan mengenai isu intoleransi dan kembali menyoroti polemik Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendirian Rumah Ibadat.
Kronologi Insiden: Dari Retreat hingga Perusakan
Video yang diunggah akun TikTok Katolik Terkini dan kemudian viral menunjukkan sekelompok massa merusak bangunan tersebut. Terlihat kaca jendela dipecahkan dan salib kayu yang menempel di dinding dirusak. Massa menuding bahwa bangunan yang digunakan untuk kegiatan keagamaan itu tidak memiliki izin.
Menurut akun X @cinnamonw234, insiden ini terjadi saat umat Kristen sedang melakukan kegiatan retreat di Sukabumi dan singgah di bangunan yang disebut sebagai villa/tempat milik gereja mereka. Cuitan tersebut menyebutkan bahwa kelompok retreat diusir secara kasar, bahkan salib dan Alkitab dibakar. Insiden ini memicu reaksi keras dari netizen yang menyayangkan aksi intoleransi tersebut, dengan banyak yang menyerukan penghapusan peraturan perizinan yang dianggap membatasi hak beribadah.

Klarifikasi dan Musyawarah Forkopimcam
Pihak Forkopimcam Cidahu bersama tokoh agama dan masyarakat setempat segera mengadakan musyawarah di Aula Kantor Desa Tangkil. Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kaban Kesbangpol) Kabupaten Sukabumi, Tri Romadhono, menjelaskan bahwa yang dirusak bukan gereja atau tempat peribadatan, melainkan rumah tinggal. Ia menambahkan bahwa pemilik rumah sudah diberi peringatan oleh Forkopimcam sebelumnya, namun tidak diindahkan, dan rumah tersebut memang pernah dijadikan tempat ibadah.
“Masyarakat akan mengganti kerusakan rumah tersebut, perlu diluruskan juga yang dirusak oleh warga Cidahu itu bukan Gereja atau bukan tempat peribadatan, melainkan rumah tinggal. Insya Allah, masyarakat Cidahu sudah sepakat akan menjaga kondusifitas,” ujar Tri Romadhono pada Sabtu (28/6/2025).
Tri Romadhono berharap masyarakat dapat lebih waspada dan melakukan deteksi dini terhadap lingkungan sekitar, termasuk terkait perizinan kegiatan yang tidak normal. Ia juga menekankan pentingnya pendataan administrasi oleh RT, RW, dan Desa untuk menghindari miskomunikasi.
Di akhir musyawarah, Forkopimcam Cidahu bersama Lembaga Keagamaan, Tokoh Masyarakat, dan Tokoh Pemuda membacakan pernyataan bersama yang berisi komitmen menjaga kondusivitas, tidak akan mengulangi insiden serupa, meminta agar masalah diselesaikan secara musyawarah tanpa dibawa ke ranah hukum, kesiapan mengganti kerusakan, serta meminta pemilik rumah untuk memfungsikan bangunan tersebut sebagai rumah tinggal dan tidak dijadikan rumah ibadah.

Hasil musyawarah, Forkopimcam Cidahu. Segenap Lembaga Keagamaan, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda membacakan pernyataan yang berisi.
– Bahwa situasi dan kondisi di wilayah Kecamatan Cidahu kondusif dan siap memelihara Kamtibmas keamanan di wilayah Kecamatan Cidahu.
– Tidak akan terulang kembali kejadian atau insiden tersebut.
– Meminta jangan sampai lanjut ke proses hukum dan diharapkan diselesaikan dengan cara musyawarah mupakat.
– Kami siap untuk mengganti kerusakan dan memperbaiki rumah tersebut.
– Meminta kepada pemilik rumah agar rumah tersebut difungsikan sebagai rumah atau tempat tinggal dan tidak dijadikan rumah ibadah .
– Bahwa insiden tersebut bukan pengrusakan tempat ibadah.
Demikian pernyataan bersama ini, kami buat untuk dijadikan bahan sebagaimana mestinya
Sorotan Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) terhadap PBM 2 Menteri
Menanggapi insiden ini, Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI), Dharma Leksana, S.Th., M.Si., menyatakan bahwa akar konflik kerukunan umat beragama adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, terutama Pasal 13 yang mengatur tentang perizinan mendirikan rumah ibadah.
Dharma Leksana memaparkan hasil riset PWGI yang tertuang dalam naskah akademik berjudul “Evaluasi dan Usulan Pencabutan Pasal 13 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006: Perspektif Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia”. Menurutnya, selama PBM 2 Menteri belum dicabut, peraturan tersebut akan selalu menjadi sumber legalisasi perusakan rumah-rumah ibadah.
Ia merinci permasalahan dalam Pasal 13 PBM 2 Menteri:
- Ayat (1) tentang “Kebutuhan” dan “Komposisi”: Mensyaratkan pendirian rumah ibadah berdasarkan “kebutuhan nyata dan sungguh-sungguh” sesuai komposisi jumlah penduduk di tingkat kelurahan/desa. Ini dianggap subjektif, diskriminatif terhadap minoritas, dan memungkinkan keputusan sewenang-wenang karena definisi “kebutuhan” yang tidak jelas.
- Ayat (2) tentang Menjaga Kerukunan dan Ketertiban Umum: Kriteria ini sering digunakan oleh kelompok oposisi untuk menghalangi pembangunan gedung keagamaan minoritas, memberikan hak veto kepada unsur intoleran dalam komunitas mayoritas dan merusak hak minoritas.
- Ayat (3) tentang Pertimbangan Bertingkat: Meskipun menawarkan fleksibilitas ke tingkat administratif lebih tinggi, penekanan awal pada tingkat kelurahan/desa masih menjadi kendala signifikan bagi minoritas, dengan proses yang rumit dan rentan terhadap hambatan birokrasi serta tekanan politik lokal.
Selain itu, Dharma Leksana juga menyoroti Pasal 14 PBM 2 Menteri yang mengatur persyaratan khusus seperti daftar nama pengguna, dukungan masyarakat, dan rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama serta Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Menurutnya, peran FKUB seringkali menjadi penghambat, dan izin sementara menciptakan ketidakstabilan.
PWGI menyatakan keprihatinannya atas dampak Pasal 13 terhadap komunitas Kristen di Indonesia. “Laporan ini menggarisbawahi argumen utama untuk mengevaluasi dan berpotensi mencabut Pasal 13: sifatnya yang diskriminatif, konflik dengan prinsip-prinsip konstitusional dan hak asasi manusia, dan perannya dalam melanggengkan intoleransi. Penting untuk memastikan kebebasan beragama dan kesetaraan bagi semua warga negara,” pungkas Dharma Leksana, berharap pemerintah mengambil langkah reformasi kerangka regulasi untuk masyarakat yang lebih adil dan setara. (TIM Publikasi PWGI)