Wartagereja-jabar.com – Bandung sore itu ramah. Langit cerah, udara lembut, dan halaman Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Bandung di Jalan Kebonjati 108 mulai ramai oleh tamu dari berbagai penjuru Jawa Barat. Mereka datang membawa senyum dan kenangan, menyambut sebuah peristiwa yang sederhana tapi sarat makna: kebaktian peresmian emeritasi Pdt. Paulus Wijono, S.Th., M.M.
Selama lebih dari tiga dekade, Pdt. Paulus telah melayani Tuhan dan jemaat GKP dengan ketulusan yang tenang. Kini, setelah 32 tahun perjalanan pengabdian, gereja meneguhkan gelar “Emeritus” — bukan sekadar tanda purna tugas, tetapi pengakuan atas panggilan yang dijalani dengan setia.

Tepat pukul 15.00 WIB, lonceng gereja berdentang. Kebaktian dimulai di bawah pimpinan Ketua Umum Majelis Sinode GKP, Pdt. Dr. Magyolin Carolina Tuasuun, M.Th. Tanpa tarian atau prosesi panjang, suasana kebaktian berlangsung sederhana—sesuai permintaan Pdt. Paulus sendiri. Kesederhanaan itu justru memperkuat kesan khidmat.
Kotbah sore itu berjudul “Speechless”, berangkat dari Mazmur 8:1–10. Tema ini menjadi benang merah seluruh acara—sebuah refleksi tentang momen dalam hidup ketika kata tak lagi cukup untuk menampung kekaguman pada kasih Tuhan. “Ada saat di mana kita hanya bisa terdiam,” demikian inti pesannya, “bukan karena kehilangan kata, tetapi karena limpahan syukur dan rasa takjub atas karya Allah.”
Refleksi yang dibagikan Pdt. Emeritus Paulus kemudian memunculkan tawa lembut dan renungan mendalam. Ia menuturkan tiga kisah sederhana namun menggigit: tentang rapat gereja yang selalu berujung “nasi padang”, tentang “ahli tertawa” yang bisa membuat banyak orang bahagia tapi tak bisa menertawakan dirinya sendiri, dan tentang ingatan yang mulai rapuh seiring usia—yang mengingatkan agar relasi dengan Tuhan tak ikut memudar. “Pertanyaannya,” katanya pelan, “apakah Tuhan masih mengenal kita?”
Rangkaian acara berlanjut dengan pembacaan riwayat hidup dan pelayanan, piagam emeritasi oleh Pnt. Drs. Edwin Handiman, serta penyerahan kenang-kenangan oleh Pnt. O.D. Sariningsih. Persembahan pujian dari berbagai paduan suara—RS Immanuel, GKP Bandung, GKP Jatinegara, GKP Karawang, dan GKP Jatirangon—mengalun sebagai bentuk penghormatan.

Sambutan-sambutan yang menyusul membawa warna kebersamaan lintas peran dan lembaga: dari Majelis Sinode, Badan Penelitian dan Pembinaan Sinode, Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Jabar, Kesbangpol, FKUB, PGIW Jawa Barat, hingga Lembaga Alkitab Indonesia. Semua menyuarakan nada yang sama—terima kasih, penghargaan, dan doa.
Kehadiran para pendeta aktif dan emeritus, sahabat lintas gereja, serta tamu dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa pelayanan Pdt. Paulus telah menjangkau lebih luas dari sekadar mimbar. Ada kehangatan yang nyata di antara jemaat—sebuah keluarga besar yang tumbuh dari kasih dan kerja bersama.
Di penghujung acara, sebelum doa makan penutup yang dipimpin Pdt. William Dikjaya Tanamal, S.Fil., sesi foto bersama menjadi penanda akhir yang manis. Di tengah sorak kecil dan tawa ringan, wajah-wajah berfoto bukan hanya menyimpan kenangan, tapi juga rasa syukur atas perjalanan yang indah.
“Wonder is the basis of worship,” tulis Thomas Carlyle, sejarawan Skotlandia yang dikutip Pdt. Paulus dalam refleksinya. Kekagumanlah yang membuat manusia menunduk dalam doa. Sore itu, di tengah gereja yang hangat dan sederhana, jemaat GKP Bandung belajar sekali lagi tentang arti kagum—tentang diam yang bukan hampa, tapi penuh pujian.

(Penulis: Pdt. Alex F. Banua – GKP Gunung Putri, Bandung, 13 Oktober 2025)
