
Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
Wartagereja-jabar.com – Jakarta, Revolusi digital telah mengubah lanskap kehidupan manusia secara fundamental, dan agama tidak terkecuali dari transformasi ini. Kemunculan teknologi digital, terutama kecerdasan buatan (AI), telah membawa perubahan signifikan dalam cara individu mencari, memahami, dan mempraktikkan agama. Akses terhadap informasi agama kini menjadi lebih luas dan instan, membuka pintu bagi beragam perspektif dan interpretasi yang sebelumnya mungkin sulit dijangkau.
Akses Informasi Agama yang Lebih Luas dan Instan Berkat AI
Salah satu dampak paling nyata dari revolusi digital adalah demokratisasi informasi. Dengan hadirnya mesin pencari seperti Google dan asisten berbasis AI, individu dapat dengan mudah mengakses berbagai sumber informasi agama. Dalam hitungan detik, seseorang dapat menemukan tafsir ayat suci, penjelasan teologis, atau pandangan agama dari berbagai mazhab dan perspektif. Kemudahan akses ini tersedia 24 jam sehari, 7 hari seminggu, menghilangkan batasan ruang dan waktu dalam pencarian pengetahuan agama.
Preferensi Generasi Milenial: Belajar Agama Melalui Platform Digital
Perubahan perilaku juga terlihat pada generasi milenial dan generasi Z. Sebuah studi menunjukkan bahwa 58 persen generasi milenial lebih memilih belajar agama melalui platform digital seperti Instagram dan YouTube dibandingkan melalui organisasi keagamaan tradisional atau tokoh agama (ustadz/pendeta) secara langsung. Platform media sosial dan video daring menawarkan konten agama yang lebih beragam, visual, dan mudah dicerna, sesuai dengan gaya belajar generasi muda yang cenderung digital-native.
Implikasi bagi Gereja di Masa Depan
Pergeseran cara beragama ini membawa implikasi signifikan bagi gereja di masa depan. Beberapa pengaruh utama yang perlu diperhatikan adalah:
Otoritas dan Peran Pemimpin Agama: Akses langsung ke berbagai sumber informasi dapat mengurangi otoritas tunggal pemimpin agama tradisional. Jemaat memiliki kemampuan untuk membandingkan ajaran, mencari perspektif alternatif, dan membentuk pemahaman agama mereka sendiri berdasarkan beragam sumber. Gereja perlu beradaptasi dengan model kepemimpinan yang lebih kolaboratif dan dialogis, di mana pemimpin agama berperan sebagai fasilitator dan pembimbing dalam proses pencarian kebenaran.
Komunitas dan Keterlibatan Jemaat: Platform digital dapat menciptakan komunitas agama daring yang melampaui batasan geografis. Gereja dapat memanfaatkan platform ini untuk memperluas jangkauan pelayanan, membangun komunitas virtual, dan memfasilitasi interaksi antar jemaat secara daring. Namun, tantangannya adalah mempertahankan keterlibatan jemaat secara fisik dan membangun hubungan personal yang otentik di tengah dominasi interaksi digital.
Relevansi dan Adaptasi Konten Agama: Gereja perlu berinovasi dalam penyampaian pesan agama agar tetap relevan dan menarik bagi generasi digital. Konten agama yang disampaikan melalui platform digital perlu adaptif, visual, dan interaktif, memanfaatkan format-format seperti video pendek, infografis, podcast, dan media sosial. Gereja juga perlu terbuka terhadap dialog dan diskusi mengenai isu-isu kontemporer yang relevan dengan kehidupan generasi muda, serta memanfaatkan AI sebagai alat untuk pelayanan, misalnya dalam memberikan konseling daring atau menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis.
Tantangan Etika dan Informasi yang Salah: Luasnya informasi di dunia digital juga membawa tantangan tersendiri. Informasi yang salah, bias, atau ekstremis dapat dengan mudah menyebar dan mempengaruhi pemahaman agama individu. Gereja perlu berperan aktif dalam literasi digital, membekali jemaat dengan kemampuan untuk memilah informasi yang kredibel dan bertanggung jawab di dunia maya. Selain itu, isu-isu etika terkait penggunaan AI dalam konteks agama juga perlu menjadi perhatian, seperti privasi data, algoritma yang bias, dan potensi dehumanisasi.
Revolusi digital telah membawa perubahan besar dalam cara manusia beragama. Gereja di masa depan perlu menyadari dan merespons transformasi ini dengan bijak. Dengan beradaptasi, berinovasi, dan memanfaatkan teknologi digital secara positif, gereja dapat terus relevan dan efektif dalam melayani jemaat di era digital ini. Namun, gereja juga perlu waspada terhadap potensi tantangan dan implikasi negatif dari revolusi digital, serta berperan aktif dalam membimbing jemaat untuk beragama secara cerdas, bertanggung jawab, dan otentik di dunia digital yang terus berkembang.